Banua Dayak

Tuah Jubata Ka' Talino

TATO DAN EKSISTENSI BUDAYA DAYAK


from: http://iwandjola.blogspot.com/
Tulisan ini di ikutkan dalam sayembara menulis “Quo Vadis Kebudayaan Dayak” oleh Institut Dayakology Pontianak Oktober 2008.

Abad demi abad selalu disertai oleh tanda dan simbol. Baik dalam bentuk visual maupun non visual. Manusia merupakan pelaku utama penanda itu, ia adalah mahkluk yang penuh daya cipta, ide, estetika, kreativitas, serta rasa kemanusiaannya. Dalam kehidupan komunal, manusia menyepakati berbagai aturan dan norma, bahasa, dan akhirnya menyepakati tanda, dan lambang sebagai identitas bersama. Eksistensi identitas itulah yang menuntun manusia mengurangi, menambah, mengatur dan mengubah bagian tubuh alamiahnya.

Tato adalah contoh penanda itu, karya seni hasil peradaban itu sendiri. Sekaligus merupakan sebuah media dalam masyarakat dan kelompok tertentu untuk saling mengenal dan berkomunikasi dan menunjukkan eksistensinya.

Tato, dan tradisi yang menyertainya adalah bagian kehidupan manusia, ia ada dalam tradisi seluruh benua dibelahan bumi ini. Afrika, Amerika, Eropa, Asia, Oceania, di benua Australia dan sekitarnya. Awalnya ia adalah konsumsi lokal kelompok masyarakat semata, namun kini dalam era global ia dapat menjadi konsumsi siapa saja yang menjadi anak jaman. Kata Tato, adalah peng-Indonesiaan dari tatto (English). Yang dapat diartikan sebagai goresan, gambar, atau lambang yang membentuk sebuah desain pada kulit tubuh. Konon kata Tato, berasal dari bahasa Tahiti, yakni “tattau”. Dan akhirnya memiliki istilah yang umumnya hampir sama diberbagai belahan dunia; tatoage, tatouage, tatowier, tattuagio, tatuar, tatuaje, tatoos, tattuaringer, tatuagens, tattoveringer, tattoos dan tatu. ( Tato, Hatib abdul kadir Olong, 83) Dalam bahasa Dayak ada yang menyebutnya Tutang, Pantang, Tedak .

Pada tradisi orang Dayak, Tato adalah ritual tradisional yang terhubung dengan peribadatan, kesenian dan juga pengayauan. Ia melekat ditubuh secara permanen sehingga ia menjadi ikatan pertalian, penanda yang tidak terpisahkan hingga kematian, selain itu juga berfungsi menunjukkan status sosial pemakai maupun kelompok tertentu. Gambar dan motif tertentu pada tato yang dikenakan orang Dayak ada yang dipercaya penggunanya merupakan cara untuk menangkal pengaruh jahat dan membawa keselamatan.

Dalam bukunya Dragon and Hornbill, Bernard Sellato mengungkapkan bahwa selain Dayak Tunjung dan Dayak Daratan, hampir semua kelompok suku Dayak di Kalimantan mengenal Tato sebagai penanda dan identitas kelompoknya. Terutama yang mengemuka di Kalimantan Barat adalah kaum lelaki Iban, Kayan dan Taman. Pada orang Dayak Kayan dan Kenyah, wanita mengenakan lebih banyak tato pada tangan dan kakinya untuk mempercantik diri.

Menurut Sellato pula, motif yang dikenakan kaum pria Dayak pada umumnya merupakan lambang kejantanan, keberhasilan dalam perang, dan identifikasi dalam pertempuran. Motif tato yang sering di gunakan merupakan cara untuk menangkal pengaruh jahat, penyembuhan penyakit, dan mempunyai makna religius, serta merupakan lambang alam semesta yang saling melengkapi. Seorang lelaki dewasa Dayak Iban yang telah berpengalaman dalam Mengayau, ataupun perantau dan berbagai kelebihan individu segera mengenakan lambang-lambang yang menunjukkan keperkasaannya. Ini adalah kebanggaan, prestise dan sebuah fase yang didambakan kaum lelaki saat itu.

Kaum perempuan menunjukkan kepiwaiannya dalam menenun dan menari. Bagi perempuan saat itu, menenun sama dengan tindakan perang yang dijalankan kaum pria. Keindahan tenunan, pemilihan motif merupakan sebuah keahlian yang bukan sembarangan, kemampuan ini diakui masyarakat sebagai prestasi yang patut ditandai dengan tato sebagai penghargaan dan penanda. Catatan ini menerangkan bahwa Tato pada perempuan Dayak Iban dan Kayan sangat berarti. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Tato pada masa itu sangat penting keberadaannya ditengah masyarakat Dayak yang menyepakati untuk mengenakkannya. Ia adalah lambang, sekaligus representasi konsep hidup, konsep religiusitas ke-Tuhanan, sekaligus sebuah doa, bekal dan pesan bagi kehidupan.

Begitu jauh Tato berjalan mengarungi dunia, menembus semua lapisan, batasan. Namun Tato tetap bukan produk modernisme, ia lahir dan berasal dari budaya pedalaman, tradisional bahkan kuno.

Bunga Terung yang biasa dikenakan lelaki Iban, tertanam juga di bahu Flea, bassis Red Hot Chilli Papers (Band musik Rock biasa disingkat RHCP). Mike Tyson, meletakkan motif Maori di pipi dan dahinya. Sebaliknya, seorang mahasiswa Dayak di Yogyakarta dengan gagah menyimpan Che Guevara didadanya, lalu lambang “S” Superman di lengan kanannya.

Tato tradisi Dayak, ditengah fenomena globalisasi yang melanda seluruh muka bumi, sejauh apa ia diperlakukan, dikenakan dan dicintai dan dipelajari sebagai bagian dari sejarah dan tradisi? Dunia tidak merampasnya, namun ia kini tak lagi hanya menjadi milik orang Dayak saja, ia menjadi bagian dari budaya yang dimiliki dunia pula, dunia telah memintanya.

Telah terjadi kedangkalan pemahaman masyarakat kita menterjemahkan Tato dalam hidup sehari-hari ( seperti disampaikan dalam opini Bapak A.Halim.R Pontianak Post, Kamis, 3 Januari 2008).Banyak anak muda yang seolah latah mengenakan Tato sebagai identitas baru. Hal ini dapat disaksikan dikalangan pemuda Dayak di Kalimantan Barat. Konsepsi Tato adat dan tradisi tak lagi dipegang teguh bahkan tidak dipahami.

Sangat disayangkan, karena kedangkalan itu melanda kaum muda Dayak di Kalimantan, daerah yang memiliki tradisi dan budaya Tato yang pernah menjadi pusat perhatian dan dihargai dunia. Kalimantan Barat khususnya, adalah pemilik aset budaya tersebut, namun pengetahuan dan eksotisme lokal ini ternyata dilewatkan begitu saja sebagai suatu hal yang sia dan tak mendapat perhatian. Bukankah Tato tradisi Dayak dan orang yang mengenakannya sesungguhnya adalah sebuah aset budaya yang tak ternilai bagi pariwisata, ilmu pengetahuan dan sejarah lokal?

Mencermati keterpurukan pemahaman dalam berbagai aspek budaya di Indonesia, dalam bukunya Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya, Umar kayam mengungkapkan, “Modernitas adalah mutlak dalam sebuah negara kebangsaan baru, dan dapat bersikap sangat keras terhadap kesenian tradisional. Modernitas menciptakan efisiensi yang tidak hanya merubah irama serta memendekkan kesenian tradisional itu, akan tetapi sesungguhnya merombak hal-hal yang paling dasar dari kesenian”.( Umar Kayam,Sesuatu Indonesia)

Modernitas dan gelombang globalisasi memang tak dapat dihindari, namun itu tidak berarti kita boleh membiarkannya dengan leluasa mengambil dan mengganti warna, memporak porandakan tradisi semaunya. Semakin pudarnya eksistensi Tato dan berkurangnya minat generasi muda Dayak menyandang tato tradisi tak lepas dari kesadaran baru masyarakat saat masuknya agama besar, dan kombinasi faktor lainnya dalam tatanan hidup masyarakat Dayak. Namun yang harus dikritisi adalah sikap pemerintah Indonesia melalui instansi yang berwenang di Kalimantan. Telah terjadikah sebuah usaha untuk tetap menjaga Tato (dengan segala dinamika, baik dan buruknya) sebagai bagian tradisi sebagai sebuah jejak leluhur yang patut untuk dipelajari, dikaji sebagai tanggung jawab moral terhadap generasi muda Indonesia?
Dibalik keberhasilan ekonomi dan propaganda pembangunannya, Orde Baru adalah gurita, yang mencengkeram seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pemuda dan generasi yang sudah dewasa tentu ingat fenomena “Petrus” sekitar tahun 1983-1985. Shock therapy yang dimobilisasi oleh negara demi sebuah alasan ketertiban dan keamanan. Eksistensi negara dalam “Petrus” saat itu di akui oleh Alm. Soeharto (mantan presiden ke dua) dalam biografinya : Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (1989). Tato menjadi sebuah stigmatisasi kejahatan, kriminalitas dan keberingasan yang harus ditumpas. Masyarakat kota di Jawa terhenyak dengan kerap ditemukan mayat dengan tubuh penuh lubang peluru, tusukan dan bekas penganiayaan: Umumnya tubuh itu bertato. Negara melakukan kontrol terhadap nasyarakatnya, dan masyarkat Dayak saat itu adalah masyarakat yang serta merta menjadi “orang terhukum” ditanah air, tempat adat istiadat dan budayanya berkembang.

Saya tidak mempunyai cukup pengetahuan dan data tentang apa yang terjadi di Kalimantan saat itu, namun dengan luasnya akses informasi mengenai seluruh rangkaian kejadian tersebut dapatlah dibayangkan bagaimana kecemasan Dayak-dayak yang terlanjur bertato demi menghormati tradisinya. Sebuah hasil karya seni, tradisi yang hidup jauh sebelum mereka menjadi bagian integral Republik ini, bahkan sebelum Indonesia di proklamirkan. Identitas budaya terseret menjadi lambang kriminalitas, dan stigmatisasi itu hidup hingga kini. Sehingga ada ungkapan yang diskriminatif pada 1960-1980, bahwa “orang bertato tak berhak menjadi ABRI dan Pegawai Negeri”. Memahami, menjalankan tradisi, ternyata dapat menjerumuskan nasib dinegara ini. Stigmatisasi yang hidup itu, mengakibatkan kecemasan dan unconfidence untuk menyatakan diri sebagai Dayak dengan tradisi mengenakan Tato sesuai tradisi Dayak.

Saat ini ketika rezim telah berganti, apa yang terjadi ditengah masyarakat di Kalimantan Barat (terutama kaum muda Dayak), sesungguhnya adalah sebuah pencarian baru, aktualisasi diri atas identitas budaya dan kebanggaan sebagai empunya tradisi. Terjadi sebuah kegamangan ketika “kedayakkan” dipertanyakan. Saya tak bermaksud berdalih, namun generasi Dayak yang hidup dan dewasa dalam masa Orde Baru adalah generasi yang terkungkung dan terlanjur di seragamkan menjadi nasionalis setengah jadi.

Benar adanya seperti yang disampaikan Jenkins didalam catatan Van Hulten, bahwa terjadi pembudayaan terhadap orang Dayak dimasa itu, dimana keberadaan mereka dianggap dapat merusak image Indonesia sebagai negara yang progresiv ( Herman Josef Van Hulten, Hidupku diantara Suku Daya,1992). Sehingga terjadilah aneka program yang dilakukan pemerintah dengan tujuan merubah, mengajarkan, mempengaruhi dan semua itu tanpa pertimbangan bahwa negara seharusnya memberikan perlindungan yang memadai bagi budaya tradisi lokal warga negaranya. Masyarakat lokal ketika itu tidak dipersiapkan dengan baik untuk menerima para transmigran, sehingga semakin terhimpit dan goyah dalam mengidentifikasi kedudukannya ditengah masyarakat yang kian mejemuk. Setelah satu persatu rumah Panjang dirubuhkan untuk diganti dengan pola yang baru, sesungguhnya orang Dayak telah kehilangan kedaulatan adat dan tradisinya.

Tak dapat di sangkal pula, melalui media elektronik terutama Televisi, pengaruh Eropa dan Amerika (barat), juga menjadi bagian penting perubahan besar yang terjadi pada masyarakat tradisi. Televisi menghantarkan realitas kedua dari belahan dunia lain, sehingga memotivasi untuk segera menjadi bagian dari dunia baru itu. Persoalan mode dan pola hidup adalah contoh yang paling cepat terlihat dari dampak itu. Pakaian, asesori dan aneka jenis perhiasan segera mempengaruhi gaya hidup. Globalisasi segera menyeragamkan manusia dalam suatu budaya massa yang sewarna, sehingga apa yang dialami masyarakat Dayak adalah fenomena biasa yang juga sedang terjadi dan dialami masyarakat dunia dibelahan bumi yang lain. Gencarnya arus globalisasi menjadi warna dan pengaruh besar yang memotivasi seorang atau kelompok segera menjadi bagian dari arus besar itu.

Perdebatan dan eksistensi Tato tradisi saat ini memang tak lagi up to date untuk di benturkan dengan kekinian. Dalam agama Islam, dalam moralitas agama Kristen, Katolik juga terdapat himbauan dan larangan untuk tidak ber-Tato, yang mencerminkan manusia merupakan citra Allah. Norma dan “kepantasan” yang tertanam dalam masyarakat juga demikian adanya.

Serupa dengan perdebatan tentang pornografi dan pornoaksi beberapa waktu yang lalu, agama dan Seni akan selalu memiliki batas yang abstrak. Seni dan kebudayaan merangkum semua pola pikir, aktivitas sosial hingga hasil dari aktivitas tersebut. Dalam hal ini agama juga dianggap merupakan hasil dari kebudayaaan manusia setara dengan kesenian.

Berdanetha Oevaang Oeray by Muhlis Suhaeri

Tato (baik dengan ritual tradisi atau tidak) merupakan anak kandung seni yang lahir dari kebudayaan, akan menjadi batu dan kerikil bila di pertemukan dengan konsep moralitas agama. Sebab (mungkin) agama akan mengurainya secara hitam dan putih, surga dan neraka. Indonesia sepantasnya berbangga bahwa tato tradisi Dayak (Kalimantan) diakui sebagai bagian dari rupa tato kuno yang hingga saat ini sebagian kecil masih bertahan eksistensinya. Tato tradisi dalam masyarakat Dayak adalah salah satu acuan dan referensi kebudayaan dunia. Untuk itu ada baiknya ia diteliti, dipelajari dan dipahami sebagai identitas budaya di Kalimantan sendiri. Sehingga ia tidak lagi disalah arti menjadi simbol sebuah ancaman ketertiban dan keamanan, ke-tidakberadab-an.

Muatan Lokal dalam silabus dan kurikulum tentang Kalimantan Barat telah dimulai di sekolah-sekolah, apakah Tato juga layak diangkat sebagai sebuah pengetahuan baru? Seorang teman yang pernah menempuh pendidikan di SMP Negeri 4 Kabupaten Bantul di Provinsi DI. Yogyakarta pada 1998-2001 mengaku mendapatkan muatan lokal membatik, mengenal motif-motif dan membedakan motif Pekalongan, Cirebon, Yogyakarta dan Solo. Selain itu dipelajari pula kriya kayu, ukir, sablonase musik gamelan dalam karawitan Jawa dan berbagai aspek yang berkaitan dengan seni tradisi Jawa.

Memang tak elok membandingkan secara harafiah kualitas pendidikan dikedua daerah, namun apa yang telah dilakukan di Bantul dapat menjadi contoh bagi pendidikan daerah lain terutama di Kalimantan. Dimana pendidikan tak melepaskan basis budaya dan kemanusiaan sebagai bekal bagi siswa untuk menjadi seorang anak Indonesia yang maumengenal tradisi daerah asalnya.

Pendidikan sebagai dasar pijakan, adalah sangat penting bagi generasi muda Dayak dan Kalimantan secara umum. Nasionalisasi sebagai “Indonesia” harus diakui politis dan berkiblat pada pola yang dipengaruhi oleh etnis (dan mungkin) agama yang dominan, sehingga apa yang disebut kearifan lokal (yang tak sejalan) diabaikan demi politisasi kebudayaan itu sendiri.

Sesungguhnya banyak intelektual Dayak yang menyadari, namun mengabaikan proses ini dan menganggapnya adalah kewajaran. Tak akan ada generasi Dayak yang mampu membicarakan berbagai aspek budayanya bila tak ada kesadaran kolektiv dari generasi pendahulu untuk segera mendelegasikan sebuah pengetahuan yang baik tentang budaya Dayak. Hal ini tak dapat dimulai oleh komunitas lain, ia harus dimulai oleh Dayak-Dayak itu sendiri. Intelektual Dayak, terlihat sangat sibuk berpolitik, merebut posisi yang nantinya diharapkan akan mampu membuat semuanya terlihat sangat mudah terjadi oleh kekuasaan. Akses dan kedudukan sebagai decision maker dalam politik tentu sangat penting, namun tidak serta merta merubah nasib Dayak seperti membalikkan tangan. Yang terjadi berikutnya adalah perpecahan prinsip dan orientasi antara elite itu sendiri.

Bruder Stephanus Paiman 3, by Muhlis Suhaeri

Tulisan ini jelas tak sempurna. Melalui ini saya berharap keresahan tentang eskistensi budaya Dayak, terutama tentang Tato sedikit terobati. Tulisan ini tidak juga bermaksud untuk mengajak generasi muda Dayak saat ini untuk ber-tato massal sebagai identitas baru. Masih banyak cara lain untuk “bangga” sebagai Dayak. Ketika Rumah Betang kini dapat dihitung jumlahnya, sebagai pusat perkembangan budaya ia sebenarnya tak lagi punya wibawa yang sama sepeti dimasa silam. Untuk itu diperlukan sebuah “Dayak Centre”, dimana pusat studi dan pengkajian dapat dilakukan secara terpadu. Diperlukan pula perpustakaan yang menyimpan data mengenai seluruh aspek budaya Dayak. Ini mendesak untuk dilakukan mengingat pola pewarisan lisan yang diandalkan oleh generasi sebelumnya terbukti tak cukup mampu manjadi pijakan dan sumber pembelajaran. Cerita rakyat, syair-syair, pantun, mantra-mantra, hukum adat, pemetaan wilayah, catatan, jurnal, makalah, hasil penelitian, berbagai hasil kesenian (musik,senirupa,kriya), motif ukir dan semua pengetahuan yang mungkin didokumentasi segera dilakukan dengan sadar. Semua ini dilakukan tidak untuk menciptakan generasi yang primordial, etnosentris dengan fanatisme kedaerahan dan militansi suku, namun untuk menciptakan kesadaran bersama bahwa kebudayaan Dayak adalah aset daerah dan aset kekayaan budaya bangsa.

Mempelajari rupa, motif, makna dan rupa Tato disekolah tidak serta merta menghimbau generasi muda untuk bertato, namun menyebarkan pengetahuan budaya. Sehingga bila Tato memang tak lagi dikenakan sebagai sebuah tanda dan identitas, ia tetap hidup sebagai hasil dari seni dan tradisi di Kalimantan Barat. Selanjutnya kita akan memiliki generasi yang paham tentang baik dan buruknya, juga sejarahnya. Dengan demikian tidak mudah terjadi latah untuk bertato tanpa memahami makna didalamnya.

Kebudayaan dan Tradisi Dayak banyak diperkirakan oleh Borneian akan segera hilang dari percaturan budaya nasional Indonesia, dan dunia. Ia akan segera menjadi sebuah kenangan dan memori indah masa lalu, bahwa di Kalimantan atau Borneo pernah hidup “Dayak” dengan kebesaran tradisi dan nilai didalam budaya. Ia akan tetap dikenang sebagai The great head hunters, atau bangsa penguasa rimba Kalimantan yang tak ada tandingnya. Dengan usaha kita bersama, berkarya dan berharaplah bahwa semua perkiraan itu tak demikian mudah terjadi, sebab ada generasi yang sadar dan disiapkan untuk menjadi generasi yang mencintai dan mau hidup didalam tradisi itu melalui transformasi budaya yang tepat

4 September 2010 - Posted by | budaya, tato, tradisi

1 Komentar »


Tinggalkan komentar